Islamophobia
Pers Barat: Peluang ataukah Tantangan Dakwah Islam
Oleh
Tania Pramayuani
Pengaruh adanya pemberitaan pers barat yang
memusuhi islam menyebabkan munculnya prespektif negatif mengenai islam.
Media-media pers barat mayoritas menunjukkan sikap ketidaksukaan terhadap
islam. Mulai dari beberapa tahun lalu, sempat gencar berita seputar pembakaran
Al Qur’an di Amerika Serikat. Selain itu, munculnya gerakan radikalisme yang
mengatasnamakan islam memperkuat fakta bahwa islam terkesan otoriter, tidak menjungjung
nilai kemanusian dan layak diperangi. Hal semacam ini, kerap dimanfaatkan media
pers barat untuk menyiarkan berita negatif tentang islam. Dengan mengudaranya
berbagai macam berita traumatic seputar islam, memunculkan adanya rasa
ketakutan mendalam mengenai islam. Konsumen berita global pun mengalami hal
demikian. Gejala seperti ini akan terus mencuat dan menjadi tranding topik dunia
jika akar dari fobi islam atau islamophia tidak diretas sajak dini.
Fobi islam adalah penyakit yang ditularkan oleh
kaum Kafir Quraisy. Ketakutan terhadap islam yang berakibat memusuhi atau
membenci islam, dilatarbelakangi antara lain oleh ketidakmengertian mereka
terhadap islam. Selain itu, karena tumbuhnya kesadaran islam merupakan potensi
kuat yang akan mendominasi dunia. (Asep Syamsul M. Romli, SIP, 2003, 17). Sebuah laporan terbaru oleh CAIR dan University of
California Berkeley menemukan bahwa Islamofobia di AS meningkat. Survei
di Amerika Serikat juga mengungkapkan bahwa mayoritas orang Amerika tahu
sedikit tentang Islam dan 43 persen orang Amerika merasa setidaknya
sedikit berprasangka terhadap Muslim. Timbulnya rasa kekhawatiran yang berlebih, menyebabkan banyak media pers
barat yang semakin menggencarkan penayangan berita islamophobia. Dari
berita Koran online, REPUBLIKA.CO.ID-SEATTLE, baru-baru ini, seorang anggota parlemen Republik Missouri
menggambarkan Islam sebagai suatu penyakit, Seperti polio. Sementara yang lain,
menyebut Islam sebagai penjajah dari lingkungan Amerika. Doktrin yang dilansir
oleh media tersebut menggambarkan tingkat kebencian terhadap islam telah
mendarah daging.
Wajah islam terkesan menakutkan, di samping karena banyak
umantnya yang tidak melaksanakan islam secara baik dan benar, juga terutama
akibat keberhasilan propaganda kaum Salibis-Zionis lewat jaringan media massa
yang mampu mereka kuasai. Populernya istilah Radikalisme, militan, bahkan
teroris bom islam yang digencarkan oleh pers barat membentuk terciptanya citra
islam sebagai hantu yang harus dimusnahkan. Padahal disisi lain, adanya
perkembangan informasi juga memudahkan untuk penyebaran berita. Dan otomatis
dakwah juga lebih mudah dan efisien disebarkan melalui perkembangan teknologi
informasi tersebut. Dam dakwah juga dapat ditegakkan melalui pers sendiri. Tapi
yang menjadi masalah, apakah ada pers yang berdiri tegak membela islam. Jika
ada pers yang berorientasikan islam, maka tak lain juga pers tesebut merupakan
islam lurus dan fanatik. Sedangkan pers yang lebih maju, masih belum bisa tegak
lurus di atas kepentingan masyrakat dan masih berpihak-pihak.
Keterpojokkan Islam, Minoritas
Muslim
Di
tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya non muslim, islam jelas terpojok
dalam hal kuantitasnya. Seperti di Amerika, islam sangat terpojok dan bahkan
untuk memperoleh pengakuan akan islam itu sendiri cukup sulit. Muslim disana,
kerap dimusuhi oleh non muslim hingga pada saat pemilu tahun 2010, Salah
satu capres partai Republik sebelum undur diri, Peter King, dalam sebuah orasi
yang dipublikasi secara luas mengingatkan AS akan bahaya radikalisasi Muslim
negeri itu. Realitas yang demikian semakin memojokkan islam di negera yang
minoritas muslim. Berbeda dengan negara yang mayoritas muslim, Indonesia, yang menjungjung
tinggi eksistensi islam. Kendati muncul beberapa radikalisasi yang hendak merongrong
bangsa multireligion itu, islam di Indonesia masih dapat dikontrol dan tidak
separah yang terjadi di negara barat. Sempat, beberapa kelompok golongan yang
akhir-akhir ini mendeklarasikan diri sebagai golongan paling benar dan paling
sesuai dengan ajaran Nabi. Mereka menganggap bahwa dirinya paling benar
diantara golongan lain. Tapi akhirnya pemerintah segera membubarkan golongan
tersebut.
Memang, keterpojokan islam yang melanda negeri
minoritas islam, menimbulkan adanya manipulasi untuk memunculkan sebuah
pemberitaaan yang menyebabkan islam kian dimusuhi dan semakin terpojokkan jika
di negara itu tidak ada pengakuan de jure islam. Kadang, walaupun ada
hukum tertulis pun mengenai keberadaan islam di negara minoritas muslim, tidak
luput golongan yang tidak suka dengan islam akan membuat oposisi terhadap
islam. Media massa Barat dan agen-agennya gencar melakukan Ghazwul Fikri Wa
Ghazwuts Tsaqofi yakni mensosialisaskan nilai-nilai, pemikiran dan budaya
mereka ke dunia islam, agar pola pikir dan gaya hidup umat islam cenderunng
lebih berkiblat ke Barat daripada taat pada aturan islam (Asep Syamsul M.
Romli, SIP, 2003, 15). Akibat dari adanya hal tersebut, kaum yang minoritas,
islam, akan merasa tertekan dan akan terjadi akulturasi kultural. Pada
akhirnya, paham sakularisme, hedonisme dan materialisme mewabah di kalangan
masyarakat islam. Diiringi juga dengan perubahan style yang mengacu ke
barat-baratan. Dengan adanya fenomena yang seperti itu, masyarakat yang hidup
di negara yang mayoritas islam merasa khawatir jika hal tersebut melanda
negaranya. Utamanya di Indonesia sendiri. Oleh karena itu, banyak golongan menentang
tentang nilai-nilai islam yang mulai terkontaminasi budaya barat dan nilai
islam yang ada di Indonesia. Mereka menganggap islam di Indonesia islamnya
tidak lurus dan tidak sesuai dengan islam asli. Padahal, jika kita ketahui
islam yang asli hanya ada dalam Al Qur’an saja, bukan dibawa suatu golongan
teretentu. Dan suatu golongan atau kelompok mendirikan organisasi tersebut
tentu mempunyai kepetingan. Dan di setiap kepentinga selalu ada kepentingan
lain. Tidak mungkin pure melakukan satu hal.
Penyebaran pemahaman yang banyak melandan negara tersebut,
tak jauh dari pengaruh media barat. Dewasa ini, media barat banyak menguasai
kantor-kantor pemberitaan terkemuka di dunia (news agency), surat kabar
(press) dan jaringan TV/Radio, percetakan, penerbitan (publishing)
dan penyaluran (distribution) (Dr Daud Rasyid, M.A., 1998, 222-223).
Orang-orang Yahudi juga menguasai perfileman dan jaringan TV internasional.
Jika semua informasi dan penyebaran pemahaman dikuasai oleh orang yang tidak
suka dengan islam, kemungkinan besar manipulasi berita yang memojokkan islam
kian menguat dan umat islam sendiri dengan kuantitas yang tidak cukup akan
mengalami kesulitan membela haknya. Pada akhirnya akan ada dua kemungkinan yang
akan terjadi. Pertama, islam akan terpojokkan dan paham kebarat-baratan
akan menjadi identitasnya. Kedua, islam akan hancur di tengah genjatan
yang dilakukan oleh kaum Salibis-Zionis.
Islamophobia Tidak Butuh Obat
Islamophobia yang tumbuh di kalangan masyarakat minoritas
muslim, bukanlah suatu penyakit yang perlu diobati. Islamophia muncul
dilatarbelakangi karena adanya ketakutan yang berlebihan terhadap islam. Hal itu
ditengarai karena masih kurangnya pengetahuan seputar islam. Mereka yang
mengalami islamophobia menganggap islam adalah agama yang radikal dan identik
dengan teroris. Padahal itu semua tidak lain hanyalah propaganda kaum Yahudi
yang tidak ingin islam mendominasi dunia dan menyebarkan isu-isu mengenai kekejaman
islam. Hal yang cukup urgen dan patut disayangkan yakni penguasaan media pers
barat dikuasai oleh kaum Yahudi, sehingga berita dan pemahaman dapat dibentuk
sesukanya. Implikasinya berdampak pada media di seluruh dunia. Termasuk bisa
menjangkit pula ke media di Indonesia dan pada ujungnya akan muncul paham
kebarat-baratan di negeri yang mayoritas muslim.
Karena
bukan suatu penyakit seperti flu yang disebabkan oleh virus atau Tubercolecis
yang disebakan oleh bakteri, maka islamophobia merupakan sebuah rasa
ketakutan yang berlebihan dan cara mengatasinya bukan dengan sebuah obat,
melainkan dengan sebuah paradigma pola pikir terhadap ontologi islam sendiri. Nilai
religius islam bukan sebagai pemecah perdamaian dunia, melainkan sebagai perdamaian
dunia. Islam melarang adanya pembunuhan, seperti yang tarmaktub dalam firmanNya
yang artinya Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji kamu, “Janganlah
kamu menumpahkan darahmu (pembunuhan orang), dan mengusir dirimu (saudara
sebangsamu) dari kampung halamanmu” kemudian kamu berikrar dan bersaksi (QS
Al Baqarah:84). Dari ayat di atas jelas bahwa islam tidak mungkin melakukan
pembunuhan terhadap jiwa, apalagi dianggap sebagai teroris yang sifatnya
radikal dan rasis. Islam adalah agama risalah, islam damai dan tidak radikal.
Pesan-pesan yang dibawa islam adalah pesan perdamaian. Jika islam membawa suatu
konflik dan perpecahan di suatu negara, itu berarti perlu adanya pemahaman
ulang mengenai islam. Disinilah letak dakwahnya islam yang harus diliuruskan
oleh para da’i.
Islamophobia kali pertama muncul dan berkembang dari media,
maka solusi awal yang dilakukan adalah pengendalian media itu sendiri. Orang
yang menguasai media dapat dikatakan bahwa orang itu telah meguasai dunia.
Karena media adalah sumber segala bentuk informasi tersebar. Sebagai seorang
da’i, entah nantinya da’i yang berdakwah bil hal maupun degan bil qalam,
penting untuk menyesuaikan cara atau stategi dalam menanggaulangi islamophia
yang terjadi di barat yang pada akhirnya menyebakan juga munculnya golongan
fanatik islam di negara-negara mayoritas muslim.
Kemunculan
islamophia juga dilatarbelakangi karena islam saat ini telah memasukki zaman
teknik. Dimana pada zaman teknik semua manusia sudah tidak dihadapkan lagi pada
masalah kultural saja, melainkan masyarakat islam terdorong menuju masyarakat
global yang terdiri dari berbagai bangsa yang erat hubungannya satu dengan
lain. Manusia banyak yang terperangkap ke dalam budaya teknologi informasi, dan
hal inilah yang menjadi tantangan era kontemporer atau era teknik dan sekaligus
sebagai jembatan juga untuk memecahkan masalah ini. Islam sebagai agama dakwah,
tidak bisa diam saja melihat peluang yang besar ini untuk menyampaikan
pesan-pesan dakwah melalui media internet. Arus globalisasi tak selamanya
dimaknai dengan kolonialisasi barat atas dunia islam, akan tetapi globalisasi
dimaknai sebagai peluang untuk melakukan dakwah yang bersifat global.
Sebagai
seorang pengkonsumsi berita, selayaknya berita yang ada tidak langsung diterima
begitu saja, melainkan diklarifikasi dulu. Selain itu, hal paling urgen adalah
mengenai dasar keimanan itu sendiri. Fondasi islam harus kuat dengan berpatokan
pada prinsip islam menghargai sesama manusia dan tidak mencampurkan antara
urusan agama dan sosial. Karena penyebaran islamophia dan munculnya kaum
fanatik dilatar belakangi adanya media, menurut Onong Uchjana Effendy salah
satu metode yang tepat digunakan da’i dalam berdakwah adalah metode
jurnalistik. Sedangkan bagi seorang jurnalistik, maka diperlukan strategi yang
sesuai dalam penyampaian berita supaya hegemoni pers barat tidak menjalar pada
nalar jurnalistik Indonesia. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam
penyampaian berita untuk menyikapi islamopobhia sebagai berikut :
1.
Sebagai da’i, hendaknya melaksanakan fungsi edukasi dan menyiarkan berita
islami yang benar bukan malah melakukan propaganda ataupun kudeta
2.
Sebagai pelurus informasi, ada tiga hal yang perlu diluruskan muslim. Pertama,
informasi tentang ajaran umat islam. Kedua, tentang karya dan prestasi
umat islam. Ketiga, mampu melakukan investigasi tentang kondisi umat
islam di berbagai penjuru dunia.
3.
Sebagai pembaharuan, penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan
pengalaman ajaran islam (reformisme islam)
4.
Sebagai pemersatu, mampu menjadi jembatan untuk menyatukan umat islam.
Jurnalis harus membuang jauh-jauh sikap sektarian secara ideal maupun komersial
tidaklah menguntungkan ( Jalaludin Rakhmad dalam Rusji Hamka& Rafiq 1998)
Itulah
beberapa alternatif cara yang dapat dilakuakan untuk mencegah penyebaran islamophobia
dan munculnya kaum fanatik islam. Dengan demikian, umat islam harus bangkit
menghadapi tantang islam di era reformasi baik sebagai seorang pengkonsumsi
berita maupun sebagai pencari berita.